SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and
make it perfect.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
CHAPTER 2
PENDIDIKAN SEBAGAI BEKAL UNTUK MENGGAPAI
MASA DEPAN
Yang dikhawatirkan adalah tentu saja
bagaimana aku bisa mengikuti pelajaran disekolah? Tidak harus mendapatkan
ranking 10 besar. Tetapi setidaknya jangan sampai tertinggal kelas. Itu pesan
mamaku.
Orangtuaku berfikir sangat keras, karena
ada yang merekomendasikan agar aku pindah ke Sekolah Luar Biasa, alasannya agar
aku mendapatkan penanganan sesuai keadaanku.
Mama menolak, karena menurut
pandangannya, manusia itu tidak ada yang berbeda, semuanya sama saja.yang
berbeda adalah tujuan hidupnya. Tujuan mamaku saat itu adalah aku berhak
mendapatkan pendidikan yang sama, teman yang sama, kesempatan yang sama, agar
kedepannya aku menjadi perempuan mandiri tanpa harus saling membedakan.
Akhirnya, mama mempertahankan aku sekolah di sekolah umum dengan segala resiko.
Solusi agar aku tidak ketinggalan
pelajaran dan harus tetap naik kelas adalah harus belajar lebih ekstra
dibandingkan teman lainnya!.
Maka dari itu, aku harus mendapatkan
pelajaran tambahan setiap pulang sekolah dengan guru private yang dipanggil
kerumah. Maksudnya agar aku tetap bisa mempelajari apa yang diajarkan disekolah
dan mempersiapkan mata pelajaran berikutnya.
Supaya tidak bosan, mama emcoba kreatif
setiap hari. Jadwal seminggu full, menggabungkan kursus pelajaran formal dengan
apa yang aku suka, yang penting kelak akan berguna saat aku dewasa.
Aku masih ingat jadwal yang super padat
pada waktu itu,:
- - Senin : Les private (matematika, sejarah, dan teman-temannya)
- - Selasa : Sanggar tari (yup! Aku suka sekali menari)
- - Rabu : Les Private (lagi!)
- - Kamis : Menari modern & daerah (walaupun tidak bisa mendengar lyric tapi aku menikmati alunan musik)
- - Jumat : Ngaji
- - Sabtu : Boleh main kemana saja dengan teman-teman
- - Minggu : Istirahat.
Booo! Padet juga ya. Mama sengaja dengan
jadwal seperti itu. Supaya aku tumbuh menjadi anak yang aktif. Itu kelihatan
sekali hasilnya hingga sekarang. Aku terbiasa mengatur jadwal. Saking sibuknya,
aku justru jadi lebih berkurang komplain mengenai keterbatasan mendengarku
dengan diisi hal-hal yag bermanfaat.
Kita akan menjadi lebih
pintar dengan membaa buku, tetapi kita akan menjadi lebih bijak dengan
pengalaman yang kita punya.
Saat SMP
& SMA, aku upgrade kursusnya dengan bahasa inggris, walaupun sulit di
‘listening & conversation skill’, tapi aku belajar grammar, suapaya bisa
mendukung mata pelajaran disekolah. Itu karena semata-mata aku takut jika tidak
naik kelas, kebayang kan malunya kalau sampai terjadi. Demi menghindar anggapan
negatif orang menegnai aku, sudah tidak bisa mendengar, jadi jangan ditambah
tidak bisa apa-apa hanya karena tidak naik kelas.
Disaat teman-teman lainnya bisa puas
bermain, tidak begitu denganku. Aku harus melanjutkan belajar. Effort yang gak
sedikit demi lulus dan membanggakan diri sendiri serta orangtua.
Terbukti, tidak ada hasil yang
mengkhianati usaha. Aku naik kelas terus dan lulus sekolah dari TK – SD – SMP –
SMA. Bagaimana dengan kuliah?
Saat menjelang masuk ke perguruan tinggi, aku mendadak bimbang.
Karena, aku pada saat itu tidak punya mimpi yang sepsifikk demi masa depan. Aku
tidak punya bayangan apapun, karena keterbatasan yang aku miliki aku merasa
lebih terbatas juga dalam menggapai mimpi.
Dulu ya saat aku kecil, aku pernah
berangan-angan menjadi sosok perempuan yang elegan, menggunakan heels, blazer,
berjalan anggun, dan duduk dikursi yang empuk tentunya kursinya bisa
berputar-putar.
Setelah dipikir-pikir, jikalau angan-angan
seperti itu. Jadi apa ya? Jelas perempuan bekerja! Iya bekerja!. Caranya
gimana? Ya, tentu saja sekolah setimggi yang aku mampu.
Tidak ada sedikitpun rencana matang aku
menyampaikan keinginan untuk mengambil kuliah jurusan komunikasi. Keputusan
yang sangat kontradiktif sekali, karena ‘sudah tau tidak bisa mendengar &
memilih kuliah komunikasi?’ tidak ada yang mendukungku pada saat itu.
Sebenarnya, alasan aku memilih komunikasi
bukan cita-cita, bukan juga dorongan dari siapapun. Tapiiiiiiii, karena aku
tidak ingin ketemu matematika dan teman-temannya yang berhitung dengan angka ;p
hehehe aku nyerah, merasa bukan bakatku disitu.
Memasuki perguruan tinggi ternyata butuh
usaha, mengikuti tes di beberapa perguruan tinggi ternama, selalu seperti itu.
Dari sekian banyaknya aku tes, interview, dan beberapa yang lolos. Aku memilih
‘the London School of Public relations’ berdasarkan rekomendasi teman-teman
Bapakku yang mengatakan sekolah komunikasi swasta yang bagus dijakarta.
Awalnya takut, sulit. Tapi ternyata secara
perlahan. Aku menikmatinya. Lingkungan baru, teman abru, pelajaran baru,
pengajar baru, dan segala macamnya baru yang membuat aku menikmatinya.
Dari sekolah komunikasi ini ternyata
banyak sekali ilmu yang aku peroleh, justru dimulai dari sini, jalan terbuka
untukku terbuka. Kembali dingat-ingat lagi mengenai pelajaran yang bermanfaat
buatku.
BELAJAR
TENTANG PERSONAL BRANDING
Suatu ketika, saat pelajaran usai, aku
mendatangi seorang dosen yang sedang membereskan perlengkapannya dan hendak
meninggalkan kelas. Aku buru-buru menghampiri beliau.
“Bu..Ibu..hmmm bolehkah aku
berdiskusi?’ tanyaku sambil berlari
tanpa direncakan, tanpa diduga aku malah
gak kuat menahan air mata. Aku menangis. Ibu dosenpun bingung.
“Ada apa nak? Kamu baik-baik saja? Kenapa
kamu menangis?”, beliau bertanya dengan heran.
Perlahan aku mulai menjelaskan, “Aku..aku
gak sanggup bu. Mengikuti mata kuliaiih Iby dan tugas yang Ibu berikan, seperti
berpidato didepan kelas. Berat bu, sangat berat. Bolehkah saya ijin untuk tidak
mengikutinya?”
“Kamu kenapa?kalau kamu tidak mengikuti
tugas itu, kamju tidak akan mendapatkan nilai, dan tentu saja kamu akan gagal
dimata kuliah saya ini”, pernyataan beliau ini justru membuatku semakin takut.
“Bu.. aku trauma. Karena pernah dianggap
dan dipandang hina oleh banyak orang, karena…. Karenaaa itu karena saya tidak
bisa mendengar. Saya memiliki masalah pendengaran.” ujarku lirih sambil
menunjukkan alat Bantu dengar dari kedua telinga. Sesaat kemudian, airmataku
semakin deras mengalir membasahi pipi, karena untuk membicarakan seperti
ini butuh keberanian sangat besar.
Mendengar penjelasanku, beliau hanya
tersenyum dan dengan tenang, “ Angkie, kenapa kamu harus malu? Tunjukkan saja
kepada orang lain. Jujur kepada orang banyak, termasuk teman-temanmu. Siapa
kamu sebenarnya, dan apa yang terjadi denganmu. Jangan malu”.
“kenapa harus jujur bu? Apakah tidak apa?
Nanti kalau saya semakin dihina bagaimana?”.
“kalau kamu percaya dengan diri kamu
sendiri, saya yakin mereka akan memberikan apresiasi atas usaha kejujuran
kamu”.
Dengen percakapan ini, aku diam seribu
bahasa. Ternganga. Bagaimana mungkin aku bisa mengumpulkan keberanianku,
mengatakan yang sebenarnya di depan kelas. Aku malu.
Tidak lama kemudian, dosenku menambahkan
“Tidak ada salahnya jika kamu mau mencoba. Kamu bisa berlatih didepan cermin.
Latih bicara kamu, bagaimana bahasa tubuhmu, tatapan matamu saat memandang sudiences.
Saya yakin kamu bisa. Kamu hanya harus emmeprcayai dirimu”.
Sekejab aku mendapatkan pencerahan.
Suntikan semangat. Orang lain saja percaya dengan diriku, kenapa aku tidak? Itu
karena aku terlalu takut untuk melawan ketakutan dalam diri aku, maka aku harus
bisa. Harus bisa. Harus bisa.
Seminggu kemudian, aku mengikuti tips dan
trik dari Ibu dosenku itu. Saat namaku dipanggil, aku sempat gemeteran,
ketakutan, tapi aku coba untuk menenangkan diri dengan meengatur napas dan
memegang (bahkan menggengam) pulpen dengan keras. Tapi justru itu sangat
membantu.
“Assalamualaikum
wr.wb.. Selamat siang semua. Perkenalkan saya angkie yudistia, sebelum saya
melanjutkan pidato ini. Ada yang ingin saya sampaikan bahwa sebenarnhya saya
memiliki keterbatsan mendengar. Sehingga saya harus menggunakan alat Bantu
dengar. Hari ini saya akan menjelaskan tugas kita…… bla …. Bla… bla… bla…bla…
demikian saya sampaikan dan saya ucapkan terima kasih banyak. Walaikumsalam
wr.wb”.
Kelas memang mendadak hening, bengong,
tapi tidak lama kemudian… tepuk tangan meriah yang aku dapatkan!.
Aku tersenyum. Ketakutanku terbukti salah.
Ibu Dosen benar. Orang lain akan mengapresiasikan kejujuran kita, ketika kita
sendiri sudah ikhlas menerima keadaan diri kita apa adanya. Dari jauh eku melihat
Ibu Dosenku, beliau ternsenyum dan semabari tepuk tangan. Aku lalu
menghampirinya, menyalaminya, dan mengucapkan “Ibu, terima Kasih banyak”.
Hari demi hari, aku semakin percaya diri
dengan mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Semakin banyak orang mengetahui
keadaanku,
“oh, Angkie yang tunarungu”
“Angkie yang tidak bisa mendengar”
Bukan sesuatu yang buruk, tapi aku
menyukainya. Karena teman-temanku semakin banyak. Lalu, hal itu yang membuatku
merasa ingin menciptakan Personal Branding yang lebih bagus lagi. Aku berfikir
tentang “oh, Angkie yudistia, yang tunarungu itu, lulusan S2 komunikasi “.
Gimana? Menarik gak dengan pernyataan itu?.
Maka, ketika di kampus ada program
akselerasi S2 yakni, program percepatan S1& S2 selama 5 thun saja. Aku
langsung ambil. Ikut testnya, dan lolos! Syaratnya adalah IPK minimal 3,00. Aku
lihat IPK ku adalah 3,50 jadi amaaaannn ya.
Berat gak menjalani itu? Saat semester 7
di S1, aku harus mulai kuliah S2. TENTU SAJA SANGAT BERAT. Apalagi waktu
kayaknya gak habis-habis diisi dengan perkuliahan. Aku menikmatinya, karena ini
juga didikan mamaku, dari SD aku terbiasa dengan mengatur jadwal padat, jadi
saat kuliah aku jadi terbiasa.
Berani mengambil keputusan jangan
setengah-setengah, jadi harus dijalani sampai akhir. Pada waktu wisuda S1 pada
tahun 2009 dan tahun berikutnya 2010 aku wisuda S2. Mama, Bapak tidak pernah
absen mengantarkan aku. Walaupun bukan luluasan terbaik, tapi aku berhasil. Aku
bahagia, telah berjanji tidak menyerah disaat kesulitan.
Terwujud sudah keinginan Personal
Brandingku,
Angkie Yudistia. Seorang Tunarungu.
Lulusan S2 dari Marketing Communication.
…………..
Chapter 3 Berikutnya aku akan bahas mengenai
pertempuran hidup menggapai mimpi yang sesungguhnya dan melewati banyak hal
untuk bisa mandiri secara finansial walaupun terbatas. Ditunggu ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar