Kamis, 08 September 2016

Chapter 2 - Pendidikan Sebagai Bekal Untuk Menggapai Masa Depan

SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and make it perfect.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

CHAPTER 2 
PENDIDIKAN SEBAGAI BEKAL UNTUK MENGGAPAI MASA DEPAN

Yang dikhawatirkan adalah tentu saja bagaimana aku bisa mengikuti pelajaran disekolah? Tidak harus mendapatkan ranking 10 besar. Tetapi setidaknya jangan sampai tertinggal kelas. Itu pesan mamaku.

Orangtuaku berfikir sangat keras, karena ada yang merekomendasikan agar aku pindah ke Sekolah Luar Biasa, alasannya agar aku mendapatkan penanganan sesuai keadaanku.

Mama menolak, karena menurut pandangannya, manusia itu tidak ada yang berbeda, semuanya sama saja.yang berbeda adalah tujuan hidupnya. Tujuan mamaku saat itu adalah aku berhak mendapatkan pendidikan yang sama, teman yang sama, kesempatan yang sama, agar kedepannya aku menjadi perempuan mandiri tanpa harus saling membedakan. Akhirnya, mama mempertahankan aku sekolah di sekolah umum dengan segala resiko.

Solusi agar aku tidak ketinggalan pelajaran dan harus tetap naik kelas adalah harus belajar lebih ekstra dibandingkan teman lainnya!.

Maka dari itu, aku harus mendapatkan pelajaran tambahan setiap pulang sekolah dengan guru private yang dipanggil kerumah. Maksudnya agar aku tetap bisa mempelajari apa yang diajarkan disekolah dan mempersiapkan mata pelajaran berikutnya.

Supaya tidak bosan, mama emcoba kreatif setiap hari. Jadwal seminggu full, menggabungkan kursus pelajaran formal dengan apa yang aku suka, yang penting kelak akan berguna saat aku dewasa.

Aku masih ingat jadwal yang super padat pada waktu itu,:
  • -       Senin : Les private (matematika, sejarah, dan teman-temannya)
  • -       Selasa : Sanggar tari (yup! Aku suka sekali menari)
  • -       Rabu : Les Private (lagi!)
  • -    Kamis : Menari modern & daerah (walaupun tidak bisa mendengar lyric tapi aku menikmati alunan musik)
  • -      Jumat : Ngaji
  • -      Sabtu : Boleh main kemana saja dengan teman-teman
  • -       Minggu : Istirahat.


Booo! Padet juga ya. Mama sengaja dengan jadwal seperti itu. Supaya aku tumbuh menjadi anak yang aktif. Itu kelihatan sekali hasilnya hingga sekarang. Aku terbiasa mengatur jadwal. Saking sibuknya, aku justru jadi lebih berkurang komplain mengenai keterbatasan mendengarku dengan diisi hal-hal yag bermanfaat.

Kita akan menjadi lebih pintar dengan membaa buku, tetapi kita akan menjadi lebih bijak dengan pengalaman yang kita punya.



Saat SMP & SMA, aku upgrade kursusnya dengan bahasa inggris, walaupun sulit di ‘listening & conversation skill’, tapi aku belajar grammar, suapaya bisa mendukung mata pelajaran disekolah. Itu karena semata-mata aku takut jika tidak naik kelas, kebayang kan malunya kalau sampai terjadi. Demi menghindar anggapan negatif orang menegnai aku, sudah tidak bisa mendengar, jadi jangan ditambah tidak bisa apa-apa hanya karena tidak naik kelas.

Disaat teman-teman lainnya bisa puas bermain, tidak begitu denganku. Aku harus melanjutkan belajar. Effort yang gak sedikit demi lulus dan membanggakan diri sendiri serta orangtua.

Terbukti, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Aku naik kelas terus dan lulus sekolah dari TK – SD – SMP – SMA. Bagaimana dengan kuliah?


Saat menjelang masuk ke perguruan tinggi, aku mendadak bimbang. Karena, aku pada saat itu tidak punya mimpi yang sepsifikk demi masa depan. Aku tidak punya bayangan apapun, karena keterbatasan yang aku miliki aku merasa lebih terbatas juga dalam menggapai mimpi.

Dulu ya saat aku kecil, aku pernah berangan-angan menjadi sosok perempuan yang elegan, menggunakan heels, blazer, berjalan anggun, dan duduk dikursi yang empuk tentunya kursinya bisa berputar-putar.


Setelah dipikir-pikir, jikalau angan-angan seperti itu. Jadi apa ya? Jelas perempuan bekerja! Iya bekerja!. Caranya gimana? Ya, tentu saja sekolah setimggi yang aku mampu.

Tidak ada sedikitpun rencana matang aku menyampaikan keinginan untuk mengambil kuliah jurusan komunikasi. Keputusan yang sangat kontradiktif sekali, karena ‘sudah tau tidak bisa mendengar & memilih kuliah komunikasi?’ tidak ada yang mendukungku pada saat itu.

Sebenarnya, alasan aku memilih komunikasi bukan cita-cita, bukan juga dorongan dari siapapun. Tapiiiiiiii, karena aku tidak ingin ketemu matematika dan teman-temannya yang berhitung dengan angka ;p hehehe aku nyerah, merasa bukan bakatku disitu.
Memasuki perguruan tinggi ternyata butuh usaha, mengikuti tes di beberapa perguruan tinggi ternama, selalu seperti itu. Dari sekian banyaknya aku tes, interview, dan beberapa yang lolos. Aku memilih ‘the London School of Public relations’ berdasarkan rekomendasi teman-teman Bapakku yang mengatakan sekolah komunikasi swasta yang bagus dijakarta.

Awalnya takut, sulit. Tapi ternyata secara perlahan. Aku menikmatinya. Lingkungan baru, teman abru, pelajaran baru, pengajar baru, dan segala macamnya baru yang membuat aku menikmatinya.

Dari sekolah komunikasi ini ternyata banyak sekali ilmu yang aku peroleh, justru dimulai dari sini, jalan terbuka untukku terbuka. Kembali dingat-ingat lagi mengenai pelajaran yang bermanfaat buatku.

BELAJAR TENTANG PERSONAL BRANDING



Suatu ketika, saat pelajaran usai, aku mendatangi seorang dosen yang sedang membereskan perlengkapannya dan hendak meninggalkan kelas. Aku buru-buru menghampiri beliau.

“Bu..Ibu..hmmm bolehkah aku berdiskusi?’ tanyaku sambil berlari

tanpa direncakan, tanpa diduga aku malah gak kuat menahan air mata. Aku menangis. Ibu dosenpun bingung.

“Ada apa nak? Kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menangis?”, beliau bertanya dengan heran.

Perlahan aku mulai menjelaskan, “Aku..aku gak sanggup bu. Mengikuti mata kuliaiih Iby dan tugas yang Ibu berikan, seperti berpidato didepan kelas. Berat bu, sangat berat. Bolehkah saya ijin untuk tidak mengikutinya?”

“Kamu kenapa?kalau kamu tidak mengikuti tugas itu, kamju tidak akan mendapatkan nilai, dan tentu saja kamu akan gagal dimata kuliah saya ini”, pernyataan beliau ini justru membuatku semakin takut.

“Bu.. aku trauma. Karena pernah dianggap dan dipandang hina oleh banyak orang, karena…. Karenaaa itu karena saya tidak bisa mendengar. Saya memiliki masalah pendengaran.” ujarku lirih sambil menunjukkan alat Bantu dengar dari kedua telinga. Sesaat kemudian, airmataku semakin deras mengalir membasahi pipi, karena untuk membicarakan seperti ini  butuh keberanian sangat besar.



Mendengar penjelasanku, beliau hanya tersenyum dan dengan tenang, “ Angkie, kenapa kamu harus malu? Tunjukkan saja kepada orang lain. Jujur kepada orang banyak, termasuk teman-temanmu. Siapa kamu sebenarnya, dan apa yang terjadi denganmu. Jangan malu”.

“kenapa harus jujur bu? Apakah tidak apa? Nanti kalau saya semakin dihina bagaimana?”.

“kalau kamu percaya dengan diri kamu sendiri, saya yakin mereka akan memberikan apresiasi atas usaha kejujuran kamu”.

Dengen percakapan ini, aku diam seribu bahasa. Ternganga. Bagaimana mungkin aku bisa mengumpulkan keberanianku, mengatakan yang sebenarnya di depan kelas. Aku malu.

Tidak lama kemudian, dosenku menambahkan “Tidak ada salahnya jika kamu mau mencoba. Kamu bisa berlatih didepan cermin. Latih bicara kamu, bagaimana bahasa tubuhmu, tatapan matamu saat memandang sudiences. Saya yakin kamu bisa. Kamu hanya harus emmeprcayai dirimu”.

Sekejab aku mendapatkan pencerahan. Suntikan semangat. Orang lain saja percaya dengan diriku, kenapa aku tidak? Itu karena aku terlalu takut untuk melawan ketakutan dalam diri aku, maka aku harus bisa. Harus bisa. Harus bisa.

Seminggu kemudian, aku mengikuti tips dan trik dari Ibu dosenku itu. Saat namaku dipanggil, aku sempat gemeteran, ketakutan, tapi aku coba untuk menenangkan diri dengan meengatur napas dan memegang (bahkan menggengam) pulpen dengan keras. Tapi justru itu sangat membantu.

“Assalamualaikum wr.wb.. Selamat siang semua. Perkenalkan saya angkie yudistia, sebelum saya melanjutkan pidato ini. Ada yang ingin saya sampaikan bahwa sebenarnhya saya memiliki keterbatsan mendengar. Sehingga saya harus menggunakan alat Bantu dengar. Hari ini saya akan menjelaskan tugas kita…… bla …. Bla… bla… bla…bla… demikian saya sampaikan dan saya ucapkan terima kasih banyak. Walaikumsalam wr.wb”.

Kelas memang mendadak hening, bengong, tapi tidak lama kemudian… tepuk tangan meriah yang aku dapatkan!.

Aku tersenyum. Ketakutanku terbukti salah. Ibu Dosen benar. Orang lain akan mengapresiasikan kejujuran kita, ketika kita sendiri sudah ikhlas menerima keadaan diri kita apa adanya. Dari jauh eku melihat Ibu Dosenku, beliau ternsenyum dan semabari tepuk tangan. Aku lalu menghampirinya, menyalaminya, dan mengucapkan “Ibu, terima Kasih banyak”.

Hari demi hari, aku semakin percaya diri dengan mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Semakin banyak orang mengetahui keadaanku,

“oh, Angkie yang tunarungu”
“Angkie yang tidak bisa mendengar”

Bukan sesuatu yang buruk, tapi aku menyukainya. Karena teman-temanku semakin banyak. Lalu, hal itu yang membuatku merasa ingin menciptakan Personal Branding yang lebih bagus lagi. Aku berfikir tentang “oh, Angkie yudistia, yang tunarungu itu, lulusan S2 komunikasi “. Gimana? Menarik gak dengan pernyataan itu?.

Maka, ketika di kampus ada program akselerasi S2 yakni, program percepatan S1& S2 selama 5 thun saja. Aku langsung ambil. Ikut testnya, dan lolos! Syaratnya adalah IPK minimal 3,00. Aku lihat IPK ku adalah 3,50 jadi amaaaannn ya.

Berat gak menjalani itu? Saat semester 7 di S1, aku harus mulai kuliah S2. TENTU SAJA SANGAT BERAT. Apalagi waktu kayaknya gak habis-habis diisi dengan perkuliahan. Aku menikmatinya, karena ini juga didikan mamaku, dari SD aku terbiasa dengan mengatur jadwal padat, jadi saat kuliah aku jadi terbiasa.

Berani mengambil keputusan jangan setengah-setengah, jadi harus dijalani sampai akhir. Pada waktu wisuda S1 pada tahun 2009 dan tahun berikutnya 2010 aku wisuda S2. Mama, Bapak tidak pernah absen mengantarkan aku. Walaupun bukan luluasan terbaik, tapi aku berhasil. Aku bahagia, telah berjanji tidak menyerah disaat kesulitan.

Terwujud sudah keinginan Personal Brandingku,
Angkie Yudistia. Seorang Tunarungu. Lulusan S2 dari Marketing Communication.




…………..


Chapter 3 Berikutnya aku akan bahas mengenai pertempuran hidup menggapai mimpi yang sesungguhnya dan melewati banyak hal untuk bisa mandiri secara finansial walaupun terbatas. Ditunggu ya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar