SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the
moment and make it perfect.
CHAPTER
1
Everybody
here has a problem, noboday here is perfect
Menulis menjadi hal yang menyenangkan
buatku. Yup! Sebelum tulisan ini diketik, aku menulisnya terlebih dahulu dengan
sebuah pulpen favorit dan sebuah buku. Hal ini aku lakukan untuk mencari arti
kesempurnaan. Tiap moment yang aku lewati, tiap emosi yang aku rasakan, itu
semua bisa menjadi inspirasi aku.
Aku mengingat dengan jelas bagaimana aku
memulai semuanya, hingga bisa menjadi seperti saat ini. Seorang Angkie
Yudistia, sebagai perempuan tunarungu menembus batas, seperti judul buku
pertamaku waktu 2011.
Aku pernah menjadi manusia normal
seutuhnya, dengan kesempurnaan indera. Tanpa harus merasa menanggung malu. Menjadi
anak yang selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Hingga pada suatu hari, diumurku yang 10
tahun entah mengapa setiap hari aku selalu menjadi pusat kemarahan guru
dikelas. Itu karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Aku merasa bingung dan merasa sangat bodoh karena tidak bisa menjawab
pertanyaan itu, misalnya pertanyaan matematika, pengetahuan umum, dan masih
banyak pertanyaan lainnya.
Dan saat itu juga, gelak tawa seisi kelas
masih sangat membekas dibenakku. Tidak pernah sekalipun aku dibela baik oleh
guru bahkan teman-teman. Sampailah pada saat orangtuaku dipanggil untuk
menghadap wali kelas dan kepala sekolah.
“Ibu, mohon diketahui bahwa sepertinya
anak ibu memiliki permasalahan dengan pelajarannya. Tidak bisa menyimak dan
mengerti dengan cepat apa yang saya sampaikan dikelas’, begitulah laporan
seorang wali kelas.
Sebagai seorang ibu yang merasa dirinya
selalu menjaga dan mengasuuh anak dengan sangat hati-hati, tentu saja dijawab
dengan yakin.
“Selama ini, anak saya baik-baik saja
Pak!. Tidak mungkin anak saya tidak bisa mengikuti pelajaran!”. Bela mamaku.
“Coba ibu tambahkan waktu belajar dirumah
dan anak ibu lebih intens berkomunikasi” saran dari kepala sekolah.
Mama hanya terdiam dan tidak bisa menjawab
lagi. Pikirannya terlalu sibuk, apa yang terjadi denganku. Dan harus mencari
jawaban dengan keganjilan ini.
Mama adalah sosok wanita yang tegar
menurutku. Tidak menganggap segala sesuatu dengan panik. Jadi, sesampai
dirumahpun mama tidak menanyakan apapun kepadaku.
Tapi, seingatku dulu aku pernah
menyampaikan beberpa kalimat curhat ke beliau, “Ma, aku selalu dimarahin guruku
hampir setiap hari. Katanya aku selalu tidak bisa mengikuti pelajaran dikelas”.
Sontak mama langsung kaget!. Karena apa
yang dibicarkaan guru dan kepala sekolah, sama dengan apa yang dirasakan aku.
Sama persis.
Mulai
Mencari Tahu
Hari-hari terus berlalu, keadaan mulai
semakin tidak membaik. Aku menjadi sosok yang pemarah. Gak tau kenapa. Dan
bahkan beberapa kali pernah kepergok menangis. Setiap ditanya, akupun sendiri
tidak memiliki jawaban, karena akupun tidak pernah mengerti apa yang sedang
terjadi dengan diriku sendiri.
Aku ingat sekali, setiap hari minggu
adalah hari favoritku, dimana banyak film favorit ditayangkan di TV. Aku
menyukai film “Candy” (anak generasi 90-an pasti tau ya!). aku selalu bernyanyi
sendiri pada saat film itu dimulai. Tapi, pada satu hari aku meminta tolong
mama untuk dituliskan lyric lagu-nya disebuah kertas, akupun langsung menyodorkan
sebuah pensil dan kertas ke mama. Tapi ternyata mama tidak meng-iyakan!. Aku
kesal, dan merebut kembali pensil dan kertas itu untuk aku menulis sendiri
saja.
Tetapi, hati ini terasa sesak, aku memang
bisa mengikuti nada, tapi aku tidakbisa mengikuti lyric-nya. Seketika aku
berteriak! Kesal! Menjerit! Menangis!. Hingga mama dan seisi rumah kaget,
karena aku tidak seperti biasanya.
Saat ditanya, aku menjawab “Kan aku tadi meminta tolong mama! Minta
tolong mama untuk dituliskan lagunya Candy. Tapi mama gak mau nolong aku! Aku
coba nulis sendiri, tapi aku gak bisa, mama! Aku tidak tau apa yang dinyanyikan
di film itu!” sambil berlinang airmata, aku mencoba menjelaskan.
Mamaku bingung. Ada yang salah dengan
anaknya. Tapi apa?, kenapa?, bagaimana bisa?, apa yang harus dilakukan?, harus
kemana?.
Diusiaku 10 tahun, duduk dikelas 4 SD.
Seharusnya masa-masa itu adalah masa menyenangkan untuk anak-anak berseragam
merah putih. Aku justru kebalikannya, hidupku merasa berubah. Berubah yang
tidak pernah tau apa yang sedang terjadi.
Begitupun dengan Bapakku, yang mencoba
memanggilku. Tapi tidak merespon. Sama sekali tidak.
………..
Pada saat itu, sekitar tahun 1997-an, Hp
dan internet tidak semudah sekarang. Jadi satu-satunya mencari informasi adalah
dengan mencoba mencari informasi dengan telepon saudara-saudari untuk bertanya,
membaca Koran, dan mencari informasi dari TV.
Orangtuaku memutuskan untuk membawa ke
dokter THT hasil dari mendapatkan informasi yang aku jelaskan sebelumnya. Dulu,
rumah sakit St. Corolus - Jakarta adalah rumah sakit yang paling bagus. Maka, telingaku
diperiksa dengan audiogram, yakni sebuah alat untuk mengecek pendengaran.
Setelah itu ada tes pendengaran manual dengan mengikuti apa yang dokter
katakan.
Dokter itu mulai mengucapkan kata-kata dan
aku harus mengikutinya, seperti:
'Kucing',
'Kelelawar',
'Sekolah',
'Rumah',
'Sepatu',
'Pohon'.
Mataku berkaca-kaca, ga ada satupun kata
yang bisa diucapkan kembali olehku. Aku menahan nangis, kenapa bisa begini?
Lalu, hasilnya?
Dokter mengatakan bahwa aku memiliki
masalah pendengaran. Untuk yang mengerti hasil audiogram, dimana level
pendengaran normal sekitar 0-40 desible. Dan saat pertama kali di cek,
pendengaranku di level 70db untuk kiri dan 69db untuk kanan. Yang artinya aku
mengalami masalah pendengaran yang walaupun belum terlalu parah dan masih
mendengar beberapa suara di level tertentu.
(for our information, itu tahun 97 dan
sekarang tahun 2016 level pendengaran aku sudah 100 db untuk masing-masing
telinga, dan mengalami tuli berat).
Air mata mamaku berlinang, Bapakku
menenangkan, aku? Masih tetap bingung. Lagi-lagi tidak tau apa yang sedang
terjadi.
Dokter menyarankan aku untuk menggunakan
alat Bantu dengar, dengan tujuan agar bisa memaksimalkan suara-suara sekitar
dan menjaga agar syarafku tetap selalu bergetar agar desible nya tidak semakin
parah.
Alat itu memang langsung dibelikan
orangtuaku. Apakah aku memakainya?
TIDAK! Karena aku MALU! Aku harus bilang apa saat ditanya orang? Aku
benar-benar tidak siap!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar