Kamis, 08 September 2016

CHAPTER 1 - Everybody here has a problem, noboday here is perfect

SEMPURNA
Don’t wait the perfect moment, take the moment and make it perfect.
-----------------------------------------------------------------------------------


CHAPTER 1
Everybody here has a problem, noboday here is perfect

Menulis menjadi hal yang menyenangkan buatku. Yup! Sebelum tulisan ini diketik, aku menulisnya terlebih dahulu dengan sebuah pulpen favorit dan sebuah buku. Hal ini aku lakukan untuk mencari arti kesempurnaan. Tiap moment yang aku lewati, tiap emosi yang aku rasakan, itu semua bisa menjadi inspirasi aku.

Aku mengingat dengan jelas bagaimana aku memulai semuanya, hingga bisa menjadi seperti saat ini. Seorang Angkie Yudistia, sebagai perempuan tunarungu menembus batas, seperti judul buku pertamaku waktu 2011.

Aku pernah menjadi manusia normal seutuhnya, dengan kesempurnaan indera. Tanpa harus merasa menanggung malu. Menjadi anak yang selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Hingga pada suatu hari, diumurku yang 10 tahun entah mengapa setiap hari aku selalu menjadi pusat kemarahan guru dikelas. Itu karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Aku merasa bingung dan merasa sangat bodoh karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu, misalnya pertanyaan matematika, pengetahuan umum, dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Dan saat itu juga, gelak tawa seisi kelas masih sangat membekas dibenakku. Tidak pernah sekalipun aku dibela baik oleh guru bahkan teman-teman. Sampailah pada saat orangtuaku dipanggil untuk menghadap wali kelas dan kepala sekolah.

“Ibu, mohon diketahui bahwa sepertinya anak ibu memiliki permasalahan dengan pelajarannya. Tidak bisa menyimak dan mengerti dengan cepat apa yang saya sampaikan dikelas’, begitulah laporan seorang wali kelas.

Sebagai seorang ibu yang merasa dirinya selalu menjaga dan mengasuuh anak dengan sangat hati-hati, tentu saja dijawab dengan yakin.

“Selama ini, anak saya baik-baik saja Pak!. Tidak mungkin anak saya tidak bisa mengikuti pelajaran!”. Bela mamaku.

“Coba ibu tambahkan waktu belajar dirumah dan anak ibu lebih intens berkomunikasi” saran dari kepala sekolah.


Mama hanya terdiam dan tidak bisa menjawab lagi. Pikirannya terlalu sibuk, apa yang terjadi denganku. Dan harus mencari jawaban dengan keganjilan ini.

Mama adalah sosok wanita yang tegar menurutku. Tidak menganggap segala sesuatu dengan panik. Jadi, sesampai dirumahpun mama tidak menanyakan apapun kepadaku.

Tapi, seingatku dulu aku pernah menyampaikan beberpa kalimat curhat ke beliau, “Ma, aku selalu dimarahin guruku hampir setiap hari. Katanya aku selalu tidak bisa mengikuti pelajaran dikelas”.

Sontak mama langsung kaget!. Karena apa yang dibicarkaan guru dan kepala sekolah, sama dengan apa yang dirasakan aku. Sama persis.




Mulai Mencari Tahu

Hari-hari terus berlalu, keadaan mulai semakin tidak membaik. Aku menjadi sosok yang pemarah. Gak tau kenapa. Dan bahkan beberapa kali pernah kepergok menangis. Setiap ditanya, akupun sendiri tidak memiliki jawaban, karena akupun tidak pernah mengerti apa yang sedang terjadi dengan diriku sendiri.

Aku ingat sekali, setiap hari minggu adalah hari favoritku, dimana banyak film favorit ditayangkan di TV. Aku menyukai film “Candy” (anak generasi 90-an pasti tau ya!). aku selalu bernyanyi sendiri pada saat film itu dimulai. Tapi, pada satu hari aku meminta tolong mama untuk dituliskan lyric lagu-nya disebuah kertas, akupun langsung menyodorkan sebuah pensil dan kertas ke mama. Tapi ternyata mama tidak meng-iyakan!. Aku kesal, dan merebut kembali pensil dan kertas itu untuk aku menulis sendiri saja.

Tetapi, hati ini terasa sesak, aku memang bisa mengikuti nada, tapi aku tidakbisa mengikuti lyric-nya. Seketika aku berteriak! Kesal! Menjerit! Menangis!. Hingga mama dan seisi rumah kaget, karena aku tidak seperti biasanya.

Saat ditanya, aku menjawab “Kan  aku tadi meminta tolong mama! Minta tolong mama untuk dituliskan lagunya Candy. Tapi mama gak mau nolong aku! Aku coba nulis sendiri, tapi aku gak bisa, mama! Aku tidak tau apa yang dinyanyikan di film itu!” sambil berlinang airmata, aku mencoba menjelaskan.

Mamaku bingung. Ada yang salah dengan anaknya. Tapi apa?, kenapa?, bagaimana bisa?, apa yang harus dilakukan?, harus kemana?.

Diusiaku 10 tahun, duduk dikelas 4 SD. Seharusnya masa-masa itu adalah masa menyenangkan untuk anak-anak berseragam merah putih. Aku justru kebalikannya, hidupku merasa berubah. Berubah yang tidak pernah tau apa yang sedang terjadi.

Begitupun dengan Bapakku, yang mencoba memanggilku. Tapi tidak merespon. Sama sekali tidak.

………..

Pada saat itu, sekitar tahun 1997-an, Hp dan internet tidak semudah sekarang. Jadi satu-satunya mencari informasi adalah dengan mencoba mencari informasi dengan telepon saudara-saudari untuk bertanya, membaca Koran, dan mencari informasi dari TV.

Orangtuaku memutuskan untuk membawa ke dokter THT hasil dari mendapatkan informasi yang aku jelaskan sebelumnya. Dulu, rumah sakit St. Corolus - Jakarta adalah rumah sakit yang paling bagus. Maka, telingaku diperiksa dengan audiogram, yakni sebuah alat untuk mengecek pendengaran. Setelah itu ada tes pendengaran manual dengan mengikuti apa yang dokter katakan.

Dokter itu mulai mengucapkan kata-kata dan aku harus mengikutinya, seperti:
'Kucing',
'Kelelawar',
'Sekolah',
'Rumah',
'Sepatu',
'Pohon'.

Mataku berkaca-kaca, ga ada satupun kata yang bisa diucapkan kembali olehku. Aku menahan nangis, kenapa bisa begini?

Lalu, hasilnya?

Dokter mengatakan bahwa aku memiliki masalah pendengaran. Untuk yang mengerti hasil audiogram, dimana level pendengaran normal sekitar 0-40 desible. Dan saat pertama kali di cek, pendengaranku di level 70db untuk kiri dan 69db untuk kanan. Yang artinya aku mengalami masalah pendengaran yang walaupun belum terlalu parah dan masih mendengar beberapa suara di level tertentu.
(for our information, itu tahun 97 dan sekarang tahun 2016 level pendengaran aku sudah 100 db untuk masing-masing telinga, dan mengalami tuli berat).


Air mata mamaku berlinang, Bapakku menenangkan, aku? Masih tetap bingung. Lagi-lagi tidak tau apa yang sedang terjadi.

Dokter menyarankan aku untuk menggunakan alat Bantu dengar, dengan tujuan agar bisa memaksimalkan suara-suara sekitar dan menjaga agar syarafku tetap selalu bergetar agar desible nya tidak semakin parah.

Alat itu memang langsung dibelikan orangtuaku. Apakah aku memakainya?  TIDAK! Karena aku MALU! Aku harus bilang apa saat ditanya orang? Aku benar-benar tidak siap!


.........


NEXT TO : CHAPTER 2 - PENDIDIKAN SEBAGAI BEKAL UNTUK MENGGAPAI MASA DEPAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar